Search Google

Kanker Pada Anak Tak Terdiagnosis Sejak Dini, Banyak Anak Meninggal Tanpa Mendapat Perawatan

Hampir setengah anak-anak pengidap kanker di seluruh dunia, menurut penelitian baru, tidak terdiagnosis sejak awal dan tidak mendapat perawatan yang baik.

Penelitian yang telah dipublikasan di jurnal Lancet Oncology tersebut menggunakan model komputer yang memperhitungkan faktor-faktor termasuk statistik tentang kanker dan kemungkinan anak-anak di negara tertentu mengakses layanan kesehatan, mendapat rujukan, dan diagnosis yang tepat.

Dengan menggunakan model ini, para peneliti dapat memperkirakan jumlah kasus kanker anak yang terdiagnosis maupun tidak terdiagnosis di 200 negara dan wilayah lain di seluruh dunia pada tahun 2015. Para peneliti juga memproyeksikan kasus tersebut dari tahun 2015 hingga 2020.

Hasilnya, model ini menunjukkan ada sekitar 397 ribu kasus kanker pada anak yang berusia hingga 14 tahun di seluruh dunia pada tahun 2015. Namun, hanya 224 ribu yang terdiagnosis. Sisanya, 172 ribu atau sekitar 43 persen dari kasus kanker anak tidak terdiagnosis.

Kanker anak secara substansial kurang terdiagnosis, terutama di Asia Selatan sebesar 49 persen dan Afrika sub-Sahara sebesar 57 persen. Eropa dan Amerika Utara hanya 3 persen kasus kanker anak yang tidak terdiagnosis. Para peneliti juga mengatakan 92 persen dari semua kasus kanker anak terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah.

“Artinya, banyak anak-anak yang meninggal di rumah tanpa mendapat perawatan,” ucap Zachary Ward, peneliti dari Universitas Harvard dan penulis utama studi ini.

Ward juga mengatakan banyak anak-anak yang menghadapi kesulitan mengakses layanan kesehatan dan bahkan jika dilihat oleh dokter, gejalanya mungkin dibingungkan dengan kondisi lain seperti TB dan Malaria.

Para peneliti memperkirakan akan ada 6,7 juta kasus kanker anak selama tahun 2015 sampai 2020 dan 2,9 juta dari mereka tidak terdiagnosis.

Pada kesimpulannya, para peneliti merekomendasikan agar sistem kesehatan diperkuat untuk mendiagnosis secara tepat dan perawatan yang efektif untuk anak-anak pengidap kanker. Baru setelah itu pengobatan.

“Kabar baiknya, perluasan layanan kesehatan yang telah dilakukan banyak negara akan membantu anak-anak mengakses sistem kesehatan,” ucap Ward seperti dikutip The Guardian. Ward juga menekankan tentang investasi dalam pendataan pengidap kanker sehingga dapat mudah dilacak.

Namun, Ward mengatakan penelitian ini masih memiliki keterbatasan dimana hanya memiliki data registrasi kanker untuk dua negara di Afrika Barat.

Sumber : tirto.id

Generasi Milenial Rawan Terkena Kanker, Berikut Ini Jenisnya

Penelitian terbaru mengungkap bahwa usia 25 hingga 49 rawan terkena kanker.

Perkembangan teknologi kedokteran dan pengobatan membuat beberapa jenis penyakit kanker bisa disembuhakan. Meski demikian, kanker masih dianggap penyakit yang sangat dekat dengan kematian.

Apalagi, kini usia pengidap kanker semakin banyak yang berusia muda. Penelitian terbaru mengungkap bahwa usia 25 hingga 49 rawan terkena kanker.

Dikutip dari Health, Selasa 26 Februari 2019, sebuah studi yang diterbitkan dalam Lancet Public Health dari American Cancer Society menganalisis 20 tahun data diagnosa kanker pada orang dewasa berusia 25 hingga 84 tahun.

Analisa itu menemukan peningkatan mengejutkan pada tingkat kanker usia antara 25 dan 49 tahun, khususnya dalam masalah yang berkaitan dengan obesitas.

Dari 12 jenis kanker terkait obesitas yang diteliti, enam jenis menunjukkan lonjakan terbesar dalam jumlah pada kaum muda di Amerika Serikat. Jenis kanker tersebut adalah kanker kolorektal, endometrium, kandung empedu, ginjal, pankreas, dan multiple myeloma, bahkan kanker sel plasma yang biasanya muncul pada pasien berusia 60-an atau 70-an.

Kaum muda AS yang berusia 25 hingga 29 tahun juga memiliki peningkatan terbesar pada kanker ginjal, dengan rata-rata peningkatan tahunan 6,23%.

Sementara orang berusia 30 hingga 34 tahun memiliki peningkatan mieloma multipel terbesar, yaitu 2,21%. Kejadian pada orang dewasa juga meningkat untuk dua kanker yang tidak terkait dengan obesitas yaitu kanker saluran pencernaan dan leukemia.

Apa yang menyebabkan kenaikan kasus kanker?

Penelitian yang dilakukan Lancet Public Health ini tidak fokus menyebutkan penyebab spesifik dari peningkatan tingkat kanker ini, penelitian ini hanya menghipotesiskan bahwa tren tersebut mungkin dipengaruhi oleh kebanyakan orang Amerika yang kelebihan berat badan atau obesitas.

Menurut CDC, antara 1999 dan 2016, prevalensi obesitas di AS meningkat dari 13,9% menjadi 18,5% di antara anak-anak dan remaja dan dari 30,5% menjadi 39,6% di antara orang dewasa.

Ini penting karena penelitian telah menunjukkan bahwa kelebihan berat badan atau obesitas dapat meningkatkan risiko kanker tertentu.

Sebuah studi terpisah tahun 2018 menemukan bahwa berat badan berlebih menyumbang hingga 60% dari semua kanker endometrium, 36% kanker kandung empedu, 33% kanker ginjal, 17% kanker pankreas, dan 11% dari beberapa myeloma yang terjadi pada 2014.

Adapun penyebab kanker gastrointestinal dan leukemia yang ditemukan oleh para peneliti dikarenakan peningkatan penyakit autoimun, penggunaan antibiotik, dan paparan karsinogen lingkungan.

Jaga berat badan dalam level normal

Meskipun tidak semua kanker dapat dicegah, namun pencegahan sejak dini lebih baik dilakukan daripada tidak sama sekali. Manfaat utama dari penelitian ini adalah tetap waspada dengan kesehatan dan berat badan.

Pasalnya, kanker yang berkaitan dengan obesitas menunjukkan peningkatan paling signifikan.

Para penulis penelitian mendorong para dokter untuk terus memantau berat badan pasien mereka dan memberi nasihat kepada mereka tentang risiko kesehatan dari obesitas sambil mempromosikan aktivitas fisik dan pola hidup sehat.

Sumber : dream.co.id

Penelitian DNA Hiu Putih Untuk Pengobatan Kanker

Sekelompok ahli Internasional baru saja melakukan dekode genom hiu putih dan menemukan petunjuk yang dapat membantu pengobatan kanker manusia.

Tim yang dipimpin oleh para peneliti Nova Southeastern University (NSU) di Fort Lauderdale, Florida, menemukan bahwa DNA hiu telah berevolusi menjadi lebih stabil dan toleran dibanding kerusakan DNA manusia. 


"Ketidakstabilan genom adalah masalah yang sangat penting untuk berbagai penyakit serius pada manusia," kata Dr Mahmood Shivji dari NSU yang menjadi pemimpin studi. 

"Sekarang kita menemukan bahwa alam telah mengembangkan strategi jitu untuk menjaga stabilitas genom dalam hiu yang memiliki ukuran besar dan berumur panjang," sambung Shivji.

Melansir Bio News, Senin (25/2/2019), Shivji dan timnya melihat banyak perubahan positif dan adaptif dalam sekuens gen DNA hiu. Hal itu diketahui berguna untuk stabilitas genetik, termasuk gen perbaikan DNA. 


Mereka memperhatikan banyaknya urutan genetik yang bernama Line, yakni gen pelompat atau elemen transposabel yang bergerak di sekitar genom dan dapat menciptkan mutasi. Line ini dapat memberi manfaat untuk keragaman genetik dan juga ancaman yang berhubungan dengan kanker. 

Dengan Line yang dominan, ukuran tubuh hiu bisa menjadi besar dan memiliki umur panjang, setidaknya bisa sampai berusia 70 tahun. Namun, hiu juga menghadapi risiko mengalami mutasi genetik, termasuk mengidap kanker. 

Hewan yang memiliki tubuh besar seperti paus atau gajah diperkirakan rentan mengidap kanker dibanding manusia, tapi nyatanya hal ini tidak terbukti. Penelitian yang dilakukan Universitas Chicago di Illinois pada 2018 justru menunjukkan bahwa gajah dapat memanfaatkan gen penekan tumor yang tidak aktif. Hal ini berkontribusi menjelaskan paradoks mengapa hewan besar tidak memiliki peluang lebih besar terserang kanker. 

Tim Shivji menggabungkan sampel DNA dari dua hiu putih besar untuk mengurutkan seluruh genom dengan 41 pasang kromosom. 

Penelitian yang dipublikasikan di PNAS juga menemukan bahwa genom hiu berjumlah satu setengah kali genom manusia, sekitar 4,6 miliar pasang basa DNA. 

"Masih banyak yang harus dipelajari dari keajaiban evolusi ini, termasuk informasi yang berpotensi memerangi kanker dan penyakit terkait usia dan meningkatkan perawatan menyembuhkan luka pada manusia. Setidaknya informasi tersebut bisa didapat dari mamalia ini," kata Shivji.

"Diharapkan bahwa genom juga bisa membantu konservasi hiu putih besar, terlebih karena populasi mereka semakin menurun karena penangkapan ilegal," tutup rekan penulis studi Dr Stephen O'Brien, seorang ahli genetika konservasi di NSU.




Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "DNA Hiu Putih Bisa Jadi Petunjuk Penting Pengobatan Kanker Manusia".Penulis : Gloria Setyvani PutriEditor : Gloria Setyvani Putri

Manfaat Olahraga Lari : Lawan Penuaan Dini Hingga Kanker

Olahraga lari yang sedang digandrungi banyak orang ternyata memiliki berjuta manfaat. Dokter olahraga dan instruktur kebugaran, Jordan Metzl, mengatakan lari adalah olahraga yang paling efektif bagi banyak orang, karena bisa dilakukan di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Riset juga membuktikan, lari lebih efektif untuk menurunkan berat badan daripada sekadar jalan kaki. "Ada banyak manfaat lari untuk kehidupan kita. Jika kita rutin melakukannya, maka kita mampu menangkal berbagai risiko penyakit di kemudian hari," ucap Mark Cucuzzella, profesor di West Virginia University School of Medicine. Riset lain pun mengklaim, atlet lari rata-rata memiliki harapan hidup tiga hingga enam tahun lebih lama. Dilansir dari Men's Health, berikut enam manfaat olahraga lari.

1. Meningkatkan kemampuan otak 

Dalam sebuah riset kecil yang diikuti orang dewasa muda, mereka yang melakukan lari interval selama tujuh minggu memiliki kebugaran dan fleksibilitas kognitif yang tinggi. Riset juga mengungkap. olahraga treadmill selama 15 menit, meski dilakukan dengan kecepatan rendah, membantu meningkatkan kemampuan manusia dalam mengingat kata-kata dalam tes kognitif. 

" Lari juga terbukti sebagai salah satu metode untuk mencegah alzheimer," ucap Dr. Metzl. 

Berdasarkan temuan riset 2014, orang yang melakukan olahraga lari 25 kilometer per minggu mampu mengurangi ridiko kematian dini hingga 40 persen selama periode 11 tahun.

"Lari mampu meningkatkan level BDNF atau faktor neurotropik dari otak yang merangsang neuron baru," ucap Dr. Cucuzzella. 

Lari juga mampu memperkuat koneksi saraf yang terkait dengan fungsi otak tingkat tinggi. Baca juga: Kenali Gejala Nyeri Pinggang yang Disebabkan Saraf Terjepit 

2. Memperkuat sistem kardiovaskular 
Kita memang kerap menemui kasus kematian pada turnamen lari jarak jauh. Tetapi secara keseluruhan, pelari reguler memiliki risiko kematian akibat penyakit jantung 30 persen lebih rendah selama periode 15 tahun. Ini terbukti dari sebuah riset yang dilakukan dengan meneliti 55.000 orang. 

Semakin sering kita melakukan olahraga lari dalam intensitas sedang hingga kuat, semakin rendah level biomarker yang terkait dengan penyakit jantung, termasuk senyawa inflamasi proterin C-reaktid dan interleukin-6. Dibutuhkan kemampuan jantung yang kuat untuk memompa darah dengan baik ke seluruh tubuh. 

Manusia juga memiliki 96.500 kilometer pembuluh darah yang harus berfungsi dengan baik agar mampu mendistribusikan nutrisi dan oksigen ke otot dan organ tubuh kita. Namun, semua itu bisa kita maksimalkan dengan mempraktikan olahraga lari. 

Pembuluh darah atlet lari yang berusia lanjut umumnya sama dengan orang-orang yang berusia setengah lebih muda darinya. Lari juga membantu meningkatkan fungsi endotel alias kemampuan jaringan yang melapisi pembuluh darah untuk berkontraksi dan rileks dengan baik.

"Ini terjadi karena lari mendorong tubuh untuk memproduksi lebih banyak nitric oxide yang merupakan vasilidator kuat," ucap Dr. Cucuzzella.

3. Mengurangi risiko diabetes 

Semakin sering kita berlari, semakin banyak mitokondria penghasil energi yang tumbuh dalam sel kita. Tentu saja ini juga memperkuat fungsi mitokondria. Mitokondria memainkan peran penting dalam membantu tubuh mengubah glukosa menjadi energi, yang sebagian besar dilakukan dengan mengatur sekresi hormon insulin. 

"Jadi, semakin banyak mitokondria, semakin baik tubuh mengatur gula darah dan menangkal diabetes tipe 2," kata Dr. Cucuzzella. 

Riset yang dilakukan selama enam tahun oleh ilmuwan dari Laboratorium Nasional Lawrence Berkeley menemukan, pelari mampu menurunkan risiko diabetes sebesar 12 persen dibandingkan dengan mereka yang tak melakukan olahraga lari. 

Bagi penderita diabetes, berlari dapat meningkatkan kontrol glukosa darah dan membuat kita lebih sehat. Riset yang telah dilakukan selama satu dekade membuktikan, mereka yang melakukan olahraga lari, kecil kemungkinannya untuk mengalami risiko kematian akibat penyakit jantung, ginjal, sepsis dan pneumonia. 

4. Memperkuat persendian 
Banyak orang mengira melakukan olahraga lari sangat ebrbahaya untuk sendi di bagian lutut. Namun menurut Dr. Metzl, gagasan tersebut sepenuhnya salah. Faktanya, riset menunjukan pelari memiliki peluang lebih kecil terkena osteoartritis.

Menurut Dr. Metzl, gerakan saat berlari dapat memperkuat lutut dan pinggul. Lari juga memperkecil tekanan pada sendi. Riset juga menunjukan, lari dapat menurunkan bahan kimia penyebab inflamasi yang mengakibatkan penyakit sendi degeneratif.

5. Memperkecil risiko kanker 
Dr. Metzl mengatakan, olahraga teratur dapat mengurangi risiko sekitar 13 jenis kanker. Secara khusus, olahraga lari terbukti ampuh mengurangi risiko diagnosis baru dan meningkatkan prognosos penderita kanker. 

Riset yang diterbitkan dalam Medicine & Science in Sports & Exercise membuktikan, mereka yang melakukan olahraga lari memiliki risiko 61 persen lebih rendah untuk terkena kanker, ginjal. Bahkan, risiko terkena semua penyakit tersebut bisa diminimalisir lebih besar dengan melakukan olahraga lari lebih sering. 

Riset dalam Journal of Cancer turut membuktikan, lari secara teratur membuay wanita dengan kanker payudara memiliki risiko lebih rendah meninggal akibat penyakit tersebut. Lari juga mampu mengurangi risiko kematian akibat kanker otak. 

Sayangnya, para ilmuwan masih berusaha menemukan hubungan yang tepat antara lari dan risiko tersebut. Namun, mereka menyakini bahwa mengurangi kadar hormon esterogen dan insulin pasa pelari reguler memberi dampak besar dalam hal ini. 

Teori lain yang didukung oleh penelitian pada hewan menyatakan, epinefrin yang dilepaskan sambil berlari merangsang produksi sel kekebalan pembunuh alami. 

6. Memperlambat proses penuaan 
Tak sekadar meningkatkan harapan hidup, lari membuat kita mampu memperkuat kondisi kesehatan. Dalam istilah medis, ini disebut dengan kompresi morbiditas. Dalam riset yang dilakukan selama 21 tahun, pelari memiliki skor lebih tinggi dalam tes yang terkait dengan fungsi keteraturan harian daripada mereka yang nonpelari. 

Berlari juga mampu menghambat proses penuaan. Riset 2018 yang diterbitkan dalam European heart Journal membuktikan, latihan ketahanan - termasuk berlari - meningkatkan produksi enzim yang tisebut telomerase. Berlari juga mampu meningkatkan panjang telomer, sekuens DNA yang menutup kromosom dan melindungi sel dari penurunan karena faktor usia.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Lawan Penuaan hingga Kanker, Ini 6 Manfaat Olahraga Lari".Penulis : Ariska Puspita AnggrainiEditor : Wisnubrata

Mitos dan Fakta Tentang Kanker Serviks Menurut Pendapat Dokter Ahli

Kanker serviks menjadi pembunuh nomor empat yang menyerang perempuan. Sayangnya, tidak semua informasi yang kita ketahui merupakan fakta yang harus dipercaya. Tak jarang, informasi tersebut hanyalah mitos.

Berkaitan dengan mitos dan fakta tentang kanker serviks, dokter Kartika Hapsari, SpOG, FNVOG dari Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita, Jakarta, meluruskan beberapa hal yang keliru.

Semuanya ini diungkapkannya dalam sesi siaran langsung bersama Radio Kesehatan milik Kementerian Kesehatan, Rabu (20/2/2019). Berikut uraiannya:

1. Benarkah sering melahirkan memicu kanker serviks?
"Sebenarnya tidak juga. kalau misalnya berkali-kali melahirkan dan pasangannya setia, enggak terkena HPV tidak akan membuat perempuan mengalami kanker," ungkap Kartika.

Sebagai informasi, sekitar 80 persen kanker serviks disebabkan oleh HPV atau Human papillomavirus yang penularannya lewat hubungan seksual.

"Kalau punya anak banyak kemudian jadi kanker, itu enggak benar sih," katanya.

2. Apakah kehamilan di usia muda bisa menyebabkan kanker serviks?
Kehamilan bukanlah penyebab kanker serviks. Akan tetapi usia hubungan seks yang lebih dini bisa menimbulkan risiko terpapar virus HPV lebih dini.

"Dan tingkat kematangan dinding leher rahim yang belum sempurna juga meningkatkan paparan virus HPV," imbuhnya.

3. Apakah kanker serviks bisa diturunkan secara genetik?
Beberapa kanker memang ada yang sifatnya genetik, dalam artian diturunkan secara genetik.

"Tapi kanker serviks tidak termasuk," kata Kartika.

Beberapa kanker yang bisa diturunkan secara genetik adalah kanker ovarium, kanker rahim karena ada beberapa sindrom yang berhubungan dengan kanker lain yang bisa diturunkan secara genetik, dan kanker payudara karena ada hubungannya dengan kromosom.

4. Benarkah adanya gumpalan saat menstruasi adalah indikasi kanker serviks?
Gumpalan darah saat sedang haid sebenarnya hal yang umum, tapi kalau berlebihan perlu diperiksakan.

Hal yang perlu dikhawatirkan adalah saat mengetahui adanya darah di luar siklus haid.

"Darah di luar siklus haid itu enggak normal, jadi perlu lebih hati-hati. Kalau sudah menikah, jangan tunggu waktu lama untuk deteksi dini," ungkap Kartika.

5. Kebiasaan yang memicu kanker serviks
Penyebab utama munculnya kanker serviks adalah seks bebas dan gemar berganti pasangan.

"Jadi bukan cuma perempuan yang harus lurus, tapi pasangan juga. Keduanya harus setia dan berkomitmen," katanya.

Selain seks bebas, gaya hidup tidak sehat seperti mengonsumsi makanan tidak sehat dan merokok juga bisa menjadi faktor risiko kanker serviks.

6. Apakah kanker serviks bisa dialami perempuan yang belum pernah berhubungan seksual?
Kartika berkata agak sulit terkena kanker serviks bila belum pernah melakukan hubungan seksual.

Oleh karena itu, bagi perempuan yang belum menikah dianjurkan untuk melakukan vaksin kanker serviks untuk mencegah virus HPV.

7. Bisakah hamil saat memiliki kanker serviks stadium awal?
Benih kanker yang diketahui sangat dini, masih memiliki peluang sembuh 100 persen jika melakukan terapi yang benar.

Namun bila sudah menjadi kanker, tergantung stadiumnya.

"Kalau stadium awal misalnya (stadium) 1, masih bisa dilakukan operasi yang tetap mempertahankan rahim. Tapi itu kalau diketahui sangat dini," ungkap Kartika.

Semakin parah dan menyebar kanker, maka akan semakin sulit diobati dan hamil.

Sebab, kanker stadium lanjut biasanya akan diterapi dengan radioterapi. Terapi sinar seperti ini akan mengenai rahim dan otomatis merusak fungsi rahim.



Artikel ini telah tayang di sripoku.com dengan judul 7 Mitos dan Fakta Tentang Penyakit Kanker Serviks Menurut Dokter Ahli. Editor: Bejoroy

Bangsal Khusus Remaja Pasien Kanker, Perwujudan Komitmen Program Community Investment Prudential Indonesia

Prudential Indonesia bersama Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI) meresmikan bangsal remaja di Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD), Jakarta. Ini merupakan perwujudan dari fokus Prudential melalui Program Community Investment Prudential Indonesia di bawah pilar Kesehatan dan Keselamatan atau Health and Safety. Presiden Direktur Prudential Indonesia Jens Reisch, mengatakan, ini merupakan salah satu upaya perusahaan dalam membantu pasien kanker anak-anak dan remaja untuk menciptakan lingkungan yang kondusif selama perawatan dan membantu mereka untuk sembuh.

“Kesehatan dan keselamatan merupakan salah satu inti dari Program Community Investment Prudential Indonesia seiring upaya kami dalam menciptakan Indonesia yang lebih sehat," kata Reisch dalam acara peresmian di Gedung Auditorium RS Kanker Nasional Dharmais, Jakarta Barat, Rabu (27/2/2019).

Prudential Indonesia, imbuh dia, telah berkolaborasi dengan YOAI sejak 2003 dan berkomitmen membantu anak-anak penderita kanker agar bisa mendapatkan bantuan pengobatan dan perawatan di bangsal yang memadai di rumah sakit.

Reisch menjelaskan, peresmian renovasi bangsal khusus remaja ini merupakan tindak lanjut komitmen Prudential Indonesia yang telah berkerja sama dengan YOAI. "Pada 2018, Prudential Indonesia menyerahkan donasi sebesar Rp 4,5 miliar dari dana perusahaan untuk setiap pembelian polis PRUsyariah di 2017 dalam rangka sepuluh tahun kehadiran Unit Usaha Syariah Prudential Indonesia," ujarnya. Sementara itu, Ketua Umum YOAI Rahmi Adi Putra Tahir, menambahkan, pihaknya telah menjalin kerja sama dengan berbagai instansi dan lembaga.

YOAI telah melakukan inisiatif untuk mendukung pengobatan kanker anak di Indonesia. “Melalui kerja sama dengan berbagai pihak baik dari pemerintah maupun swasta, YOAI mendukung pengobatan kanker anak di Indonesia,” katanya. Diketahui, berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2015, di Indonesia terdapat sekitar 4.100 kasus kanker anak-anak per tahun, sebagian besar merupakan leukemia.

Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 (Riskesdas) menunjukkan prevalensi kanker anak umur 0-14 tahun sebesar sekitar 16.291 kasus. Adapun berdasarkan data Kementerian Kesehatan, setiap tahunnya, ada lebih dari 175.000 anak di dunia didiagnosis mengidap kanker dan sekitar 90.000 di antaranya meninggal dunia. Kurangnya deteksi dini membuat kanker lebih sulit disembuhkan.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Prudential Hadirkan Bangsal Khusus untuk Remaja Pasien Kanker".Penulis : Murti Ali LinggaEditor : Sakina Rakhma Diah Setiawan

Dua Obat Kanker yang Rencananya Bakal Dihapus dari Layanan BPJS Kesehatan

Mulai 1 Maret 2019 mendatang ada dua obat kanker yang dihilangkan dari layanan BPJS Kesehatan mulai 1 Maret 2019.

Dua obat tersebut adalah bevasizumab untuk menghambat pertumbuhan sel kanker, kedua adalah cetuximab yang biasa digunakan untuk menangani kanker usus.

Prof. Dr. dr. Aru Wisaksono Sudoyo, Sp.PD, KHOM., Ketua Perhimpunan Onkologi Indonesia dan pakar kanker menyebutkan dua obat tersebut sudah lama digunakan bahkan ada di dalam sistem pengobatan internasional.

“Obat itu bagian dari suatu sistem pengobatan berdasarkan juklak internasional. Bagian dari ‘guideline’ yang merupakan standar,” ungkap Prof Aru kepada Tribunnews.com.

Untuk jenis bevacizumab, Prof Aru menjelaskan obat tersebut bisanya diberikan pada pasien kanker usus besar stadium lanjut.

Obat ini dapat memberikan peningkatakn kualitas hidup bagi pasien dengan penambahan harapan hidup hingga empat bulan.

“Kelebihannya adalah dalam peningkatan kualitas hidup bukan lamannya hidup,” kata Prof Aru.

Sedangkan untuk jenis cetuximab obat ini dapat menyusutkan ukuran tumor hati pada 10 hingga 15 persen kasus kanker, dan mengubah status kanker menjadi bisa dioperasi atau (resektable).

“Cetuximab masih lebih baik karena dapat menyusutkan, ukuran tumor di hati dengan cepat sehingga dapat mengubah status kanker menjadi resektabel atau dapat dioperasi atau di buang,” papar Prof Aru.

Sehingga dikhawatirkan akan ada dampak psikologis yang besar jika kedua obat untuk penamganan kanker tersebut dihapuskan.

“Artinya, penghapusannya tentu berdampak psikologis besar,” ungkap Prof Aru.

Adapun rencana penghapusan dua jenis obat tersebut menindaklanjuti Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor HK.01.07/2018 tentang Perubahan atas Permenkes HK.01.07/Menkes/659/2017 tentang Formularium Nasional.



Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Mengenal Dua Obat Kanker yang Rencananya Bakal Dihapus dari Layanan BPJS Kesehatan.Penulis: Apfia Tioconny BillyEditor: Anita K Wardhani

Manfaat Kaktus Untuk Kesehatan : Bisa Menghambat Pertumbuhan Sel Kanker

Selain digunakan sebagai tanaman hias, ternyata kaktus bisa dikonsumsi juga lho. Kaktus sangat populer dikonsumsi di beberapa negara di Amerika Latin seperti Meksiko. Kebiasaan mengonsumsi kaktus ini tenyata memberi manfaat baik bagi kesehatan tubuh. Seperti yang dilansir TribunTravel dari beberapa sumber, berikut manfaat mengonsumsi kaktus bagi kesehatan.

1. Antioksidan dan meredakan peradangan dalam tubuh
Kaktus mengandung flavonoid dan fenolik yang bersifat antioksidan. Selain itu, kaktus juga mengandung vitamin C, E, A, zat besi, kalsium hingga karotenoid yang dapat membantu meredakan peradangan dalam tubuh.


2. Menurunkan kolesterol dan risiko penyakit jantung
Kaktus Nopas atau kaktus pir adalah jenis kaktus yang mengandung serat dan pektin yang bermanfaat menurunkan kolesterol. Selain itu kaktus dipercaya bisa menurunkan risiko sakit jantung.

3. Menurunkan gula darah
Serat dan pektin yang terkandung dalam kaktus pir bisa mengurangi penyerapan gula dalam perut dan usus sehingga mampu membantu menurunkan kadar gula dalam darah.

4. Melindungi otak
Kaktus juga mengandung quercetin, dihydroquercetin, dan quercetin tri-metil eter yang berfungsi sebagai antioksidan aktif dan mengurangi kerusakan radikal bebas pada sel-sel otak kita.

5. Menangkal sel kanker
Selain dapat digunakan sebagai antioksidan, daun kaktus dipercaya bisa menghambat pertumbuhan sel kanker.

6. Menurunkan berat badan
Ekstrak kaktus yang dijadikan suplemen dapat membantu penurunan berat badan karena bertindak sebagai diuretik.

Dalam sebuah penelitan yang dilakukan terhadap tikus pada 2010, konsumsi suplemen kaktus menurunkan berat badan sebanyak 20 persen.

Hasil baiknya, ekstrak kaktus tidak menguras mineral tubuh dan justru memberikan efek antioksidan



Artikel ini telah tayang di Tribuntravel.com dengan judul 6 Manfaat Kaktus Bagi Kesehatan, Bisa Hambat Pertumbuhan Sel Kanker.Penulis: Ratna WidyawatiEditor: Sinta Agustina